Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
BERITA TERBARUKABAR DAERAH

Tersisa Kenangan, Tradisi Mendem Wedus Kendit di Perempatan Desa Rejoagung Tulungagung Kini Lenyap

70
×

Tersisa Kenangan, Tradisi Mendem Wedus Kendit di Perempatan Desa Rejoagung Tulungagung Kini Lenyap

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Mbah Tukini (83) Saksi hidup tradisi “mendem kepala wedus kendit ” desa Rejoagung / Foto : Dw ajttv.com

TULUNGAGUNG, AJTTV.COM – Perempatan jalan Desa Rejoagung, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur kini tampak sepi. Tak ada lagi kerumunan warga atau aroma dupa yang menguar seperti puluhan tahun lalu. Salah satu saksi hidup tradisi yang kini lenyap, Mbah Tukini (83), mengenang masa-masa kejayaan ritual “mendem kepala wedus kendit” yang rutin digelar setiap bulan Suro.

Example 300x600

​Dengan suara yang pelan namun penuh nostalgia, Mbah Tukini menceritakan bagaimana tradisi itu menjadi momen sakral dan dinanti-nanti. “Dulu, setiap Suro, seluruh warga pasti datang. Kami gotong royong menyiapkan sesajen, termasuk kambing kendit yang akan dikubur di perempatan ini,” ujarnya sambil menunjuk ke arah perempatan jalan yang ramai dilalui kendaraan.

​”Wedus kendit itu istimewa, Nak. Bulunya hitam pekat tapi ada sabuk putihnya. Itu dipercaya sebagai penolak bala dan persembahan terbaik untuk keselamatan desa,” jelasnya, Rabu (6/8/2025). Kepala kambing yang telah disembelih kemudian dikubur (mendem) di perempatan jalan, dipercaya sebagai titik paling strategis untuk menangkal energi negatif.

​Selain ritual utama itu, Mbah Tukini juga merindukan kebersamaan saat selamatan bersih desa. “Setelah ritual, semua warga makan bersama. Tidak ada perbedaan. Kami semua duduk lesehan, makan nasi tumpeng, dan saling bertukar cerita. Rasanya damai sekali,” kenangnya.

​Namun, beberapa tahun terakhir, Mbah Tukini harus menerima kenyataan pahit bahwa tradisi tersebut mulai pudar. “Anak-anak muda sekarang sibuk dengan kerjaan masing-masing. Mereka tidak tahu atau mungkin tidak percaya lagi dengan hal-hal seperti ini. Sangat disayangkan,” ucapnya lirih.

​Mbah Tukini berharap, cerita tentang tradisi ini tidak hanya berakhir di kenangan para orang tua. “Saya cuma berharap, ada yang mau melanjutkan tradisi ini. Jangan sampai hilang. Karena ini bukan cuma soal ritual, tapi juga tentang kebersamaan dan rasa syukur kita kepada Tuhan,” pungkasnya. Kisah Mbah Tukini menjadi pengingat bagi warga desa akan pentingnya menjaga warisan budaya yang nyaris terlupakan.

Reporter : Dw

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *