Foto : Tradisi Pagutan di salah satu rumah warga / Sunari ajttv.com
TULUNGAGUNG, AJTTV.COM – Di tengah pesatnya arus informasi digital, eksistensi tradisi adat Jawa di Tulungagung, khususnya yang berkaitan dengan siklus kehidupan seperti mitoni (tujuh bulanan kehamilan), pagutan (prosesi pernikahan/khitanan tertentu), dan selapan (tasyakuran 35 hari kelahiran bayi), mulai menunjukkan keretakan. Sebagian generasi milenial dan Gen Z di daerah ini ternyata sudah tidak lagi mengenal istilah-istilah warisan budaya tersebut.
Fenomena ini terungkap dari wawancara dengan tokoh masyarakat dan perwakilan pemuda setempat.
Jurang Pengetahuan Antara Generasi
Sunarto Hadi Santoso, seorang tokoh masyarakat asal Desa Geger, Kecamatan Sendang, Tulungagung, mengakui bahwa tradisi seperti mitoni (tingkeban) dan selapanan masih sering diadakan di desa-desa, terutama oleh generasi tua. Ia menyebut tradisi ini sebagai “pagar spiritual” yang penuh makna filosofis, memohon keselamatan, dan rasa syukur kepada Tuhan.
”Alhamdulillah, di Geger ini masih banyak yang mengadakan mitoni dan selapan. Tradisi ini bukan hanya ritual, tapi wujud penghormatan kita terhadap kehidupan. Sayangnya, pemahaman generasi muda terhadap makna mendalamnya memang sudah mulai hilang,” ujar Sunarto.
Namun, gambaran yang kontras datang dari generasi muda. Iqbal, seorang pelajar dari SMK di Tulungagung, terang-terangan mengaku asing dengan istilah-istilah tersebut.
”Jujur, saya baru dengar istilah mitoni dan pagutan. Kalau selapan mungkin pernah dengar sepintas, tapi tidak tahu persis itu acara apa. Mungkin karena di lingkungan kami, teman-teman lebih sering membicarakan hal-hal yang sedang viral di media sosial,” aku Iqbal.
Mitoni dan Selapan: Warisan yang Dilupakan?
Mitoni adalah upacara adat Jawa yang diadakan ketika usia kehamilan pertama seorang ibu menginjak tujuh bulan, diisi dengan ritual siraman, memecah kelapa gading, dan ganti kain tujuh motif, melambangkan doa keselamatan dan harapan terbaik bagi ibu dan calon bayi. Sementara Selapanan adalah upacara tasyakuran yang dilaksanakan tepat 35 hari (satu selapan dalam kalender Jawa) setelah kelahiran, ditandai dengan pencukuran rambut bayi dan bancakan (kenduri).
Hilangnya pengetahuan ini di kalangan remaja Tulungagung dinilai sebagai alarm bahaya bagi pelestarian budaya lokal. Sunarto berharap agar institusi pendidikan dan keluarga dapat berperan lebih aktif dalam mewariskan pengetahuan ini.
”Ini tanggung jawab kita bersama. Jangan sampai anak-anak kita hanya mengenal tradisi budaya luar, sementara adat leluhur mereka sendiri menjadi asing di tanah kelahirannya,” pungkasnya, menekankan perlunya jembatan antara kearifan lokal dengan gaya hidup digital saat ini.












