Foto : Orang tua dan Siswa asal Kedungwaru yang gagal lewat jalur Domisili
TULUNGAGUNG, AJTTV.COM – Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) jenjang SMA tahun ajaran 2025/2026 di Tulungagung, Jawa Timur kembali diwarnai polemik, khususnya pada jalur domisili. Sejumlah orang tua siswa mengeluhkan sistem yang dinilai “sesat” dan tidak transparan. Akibatnya, Puluhan calon siswa yang berdomisili sangat dekat dengan sekolah tujuan justru tidak diterima. Mirisnya, dengan berakhirnya jadwal pendaftaran, nasib para siswa ini kini terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah yang diinginkan.
Kisah Pilu Calon Siswa Dekat Sekolah yang Tersingkir
Salah satu keluhan datang dari Nunik, warga Desa Kedungwaru,, yang anaknya mendaftar di SMAN 1 Kedungwaru melalui jalur domisili. Rumah Nunik hanya berjarak sekitar 100 meter dari gerbang sekolah, namun sang anak dinyatakan tidak lolos seleksi. “Anak saya sudah sangat berharap bisa masuk SMA, jarak rumah kami sangat dekat. Tapi kenapa yang jaraknya lebih jauh justru bisa diterima? Ini kan tidak masuk akal,” ujar Nunik dengan nada kecewa.
Senada dengan Nunik, Darmi warga Desa Kedungwaru juga mengalami hal serupa. Putranya yang mendaftar ke SMAN 1 Kedungwaru padahal berjarak tidak lebih dari 113 meter dari sekolah, juga kandas. “Saya sudah yakin anak saya pasti masuk karena jalur domisili ini prioritas untuk yang dekat. Tapi ternyata hasilnya mengecewakan. Sekarang anak saya jadi bingung tidak mau sekolah karena tidak ada kendaraan, mau sekolah di mana,” keluh Darmi.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada satu atau dua kasus. Data yang dihimpun dari berbagai keluhan masyarakat menunjukkan bahwa puluhan calon siswa, mengalami nasib serupa di SMA ini. Mereka rata-rata adalah siswa yang mendaftar melalui jalur domisili yang secara geografis sangat dekat dengan sekolah impian mereka.
Pertanyaan Besar: Ada Apa dengan Sistem Domisili SPMB?
Kondisi ini memicu pertanyaan besar di kalangan masyarakat. Banyak yang menduga adanya ketidakberesan dalam sistem verifikasi domisili. . Pasalnya, ada indikasi calon siswa dengan jarak domisili yang lebih jauh justru diterima, sementara yang sangat dekat justru terpental.
Heri Widodo, seorang praktisi hukum dan tokoh pendidikan di Tulungagung, menyoroti kejanggalan ini. “Perbedaan utama jalur domisili dan zonasi terletak pada dasar penentuannya. Zonasi menggunakan jarak rumah ke sekolah, sedangkan domisili menggunakan wilayah administratif tempat tinggal. Dalam jalur domisili, yang terpenting adalah calon siswa berdomisili di wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, tanpa terlalu mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah. Kalau jaraknya sangat dekat, selama menggunakan Jalur Domisili harus diterima” Kata Heri, Kamis, (3/7/2025).
Menurut Heri widodo Jika memang ada kriteria lain selain jarak, harusnya dijelaskan secara transparan kepada publik. Jangan sampai sistem ini justru menjadi celah bagi pihak-pihak tidak bertanggung jawab dan menciptakan ketidakadilan yang merugikan calon siswa,” tutur Heri Widodo.
Ia menambahkan, minimnya informasi detail mengenai mekanisme perhitungan jarak atau kriteria lain yang digunakan dalam seleksi jalur domisili memicu spekulasi di masyarakat. Beberapa menduga bahwa sistem yang digunakan mungkin tidak akurat dalam memetakan titik koordinat domisili siswa, atau ada faktor lain yang tidak diungkap ke publik.
Dengan berakhirnya jadwal pendaftaran SPMB di tingkat SMA, para siswa yang tidak diterima di sekolah pilihan mereka kini dihadapkan pada pilihan sulit: mencari sekolah swasta dengan biaya yang tidak sedikit, atau bahkan terpaksa tidak bersekolah tahun ini.
Situasi ini tidak hanya menjadi beban bagi orang tua, tetapi juga berpotensi menciptakan masalah sosial di kemudian hari jika tidak segera ditangani. Hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan terancam terampas akibat sistem yang dinilai tidak adil.
Desakan untuk Evaluasi dan Solusi Mendesak
Heri Widodo, mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, khususnya Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Tulungagung, untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem SPMB jalur domisili. Mereka menuntut adanya audit independen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi.
“Kami berharap ada solusi cepat.Jangan biarkan anak-anak ini putus sekolah hanya karena masalah sistem yang bermasalah,” tegas Heri Widodo.
Beberapa usulan solusi yang mengemuka antara lain pembukaan kembali pendaftaran untuk siswa yang tidak tertampung dan penyediaan kuota tambahan di sekolah-sekolah.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak terkait mengenai keluhan masyarakat ini. Publik menantikan respons cepat dan solusi konkret dari pemerintah demi menyelamatkan masa depan pendidikan generasi penerus di Tulungagung.
Reporter : Anang