TAJUK RENCANA
Pengecut sikap yang pantas disematkan pada MSA, Putra salah seorang pengasuh pondok pesantren di Jombang, Jawa timur.
Walaupun akhirnya polisi bisa menangkapnya pada Jumat (8/7/2022) kemarin, setelah melakukan pengepungan selama 15 jam dengan pengerahan anggota polisi ribuan jumlahnya.
Dia telah melibatkan pondok pesantren masuk dalam permasalahan yang diperbuatnya.
Ibarat nila stitik telah merusak susu sebelanga. Bahkan kini izin operasional pondok pesantren thorikoh itu kini dicabut oleh Kementerian Agama.
Kembali pada proses penangkapan MSAT, polisi harus berkali-kali untuk melakukan upaya penangkapan terhadap MSAT yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa santriwati sekitar tahun 2017 hingga 2018.
Bahkan setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Jombang, MSAT tetap menghindar dan melakukan pembangkangan saat dipanggil polisi.
Bukan itu saja bahkan secara terang-terangan dia membuat beking untuk melawan polisi saat upaya penangkapan.
Yang juga tidak bisa dimengerti, kenapa sikap dari manajemen pondok pesantren di Jombang itu terkesan menghalang-halangi upaya penangkapan pria berusia 40 tahun itu.
Jika memang merasa tidak bersalah, seharusnya dibuktikan di pengadilan, bukan dengan cara main kucing-kucingan dan mengerahkan bekingan. Bahkan ada beking yang hingga melakukan perlawan pada polisi, mulai menabrak, menyiram air panas hingga melakukan penghadangan.
Bahkan Kapolres Jombang AKB Moch Nur Hidayat sampai menegaskan proses hukum MSAT murni bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan pesantren.
Tindakannya yang melawan petugaslah yang justru dapat merusak citra pesantren sebagai institusi yang mengajarkan moral kebaikan.
Biarkan pengadilan yang membuktikan apakah ia betul bersalah atau tidak. Bagaimanapun, ini negara hukum. Siapa pun, bahkan jika dia anak “penguasa” sekalipun, berkedudukan sama di mata hukum. Tidak ada seorang pun yang boleh kebal hukum.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah disahkan April lalu tak sekadar menjadi landasan terhadap penanganan kasus kekerasan seksual semacam ini. Namun, itu juga harus berfungsi dalam hal pencegahan hingga perlindungan dan pemulihan untuk korban.
Payung hukum itu harus memberi keadilan bagi seluruh korban. Jangan biarkan para pelakunya, siapa pun dia, bebas berkeliaran.
Kita tentu berharap tidak lagi ada alasan pemakluman terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual, sekecil apa pun itu.
Apabila terjadi tindak kekerasan seksual, penegakan hukum harus diterapkan dengan tegas dan seadil-adilnya. Institusi, entah itu perusahaan, perguruan tinggi, entah lembaga pemerintahan atau keagamaan sekalipun, tidak boleh melindungi perbuatan para pelaku pelecehan seksual atas nama apa pun juga.