Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
BERITA TERBARUKABAR DAERAH

Warga Adat Tolak Sawit, DPRD Sorong: Hutan Moi Harus Diselamatkan!

24
×

Warga Adat Tolak Sawit, DPRD Sorong: Hutan Moi Harus Diselamatkan!

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

KABUPATEN SORONG, AJTTV.COM – Penolakan terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit kembali mencuat di Kabupaten Sorong provinsi Papua Barat daya kebumen. Kali ini, suara keras datang dari anggota DPRD Kabupaten Sorong, Martinus Ulimba, yang dengan tegas menyatakan penolakannya atas rencana masuknya perusahaan kelapa sawit di 13 distrik wilayah adat suku Moi, termasuk di dalamnya Distrik Klaso, Semkuduk, Makbon, Mega, dan Selemkai.

Dalam pernyataan resminya pada Selasa, 24 Juni 2025, Ulimba mengungkapkan bahwa masuknya perusahaan sawit tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat adat merupakan pelanggaran hak ulayat dan berpotensi memicu konflik sosial serta kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki.

Example 300x600

“Perusahaan-perusahaan ini masuk tanpa prosedur yang jelas, tanpa koordinasi, tahu-tahu sudah keluar izin. Ini yang membuat masyarakat adat kami marah dan merasa dirugikan. Hak ulayat mereka seperti diambil begitu saja,” ujar Martinus Ulimba.

Ia mencontohkan Distrik Klaso yang sejak tahun 2019–2020 telah menghadapi ancaman dari perusahaan sawit bernama PT Mega Mustika Plantation. Berkat tekanan dari masyarakat adat dan DPRD, izin tersebut akhirnya dicabut oleh Bupati Sorong saat itu. Namun kini, ancaman kembali datang lewat rencana pemberian izin baru kepada perusahaan sawit dari pusat bernama PT Fajar, yang akan beroperasi di 13 distrik.

“Ini bukan sekali ditolak. Sudah dua kali! Harusnya pemerintah pusat dan provinsi belajar dari penolakan sebelumnya. Kalau masyarakat sudah bilang ‘tidak’, maka hentikan semua rencana itu,” tegas Ulimba.

Penolakan masyarakat adat tidak berhenti pada pernyataan verbal. Baru-baru ini, Dewan Adat Distrik Klaso di bawah pimpinan Dance Ulimpa dan wakilnya, Dafid Ulimpa, menggelar rapat besar yang dihadiri perwakilan masyarakat adat dari lima distrik terdampak. Hasilnya: pernyataan resmi menolak kehadiran sawit di wilayah lembah Klaso.

Sebagai bentuk penolakan adat, masyarakat juga melakukan pemotongan bambu Tui, sebuah simbol sakral yang menandakan larangan keras terhadap segala bentuk investasi atau kegiatan industri di wilayah tersebut. Bahkan, jika rencana sawit tetap dipaksakan, masyarakat mengancam akan melakukan pemotongan bambu Tui di kantor Bupati atau Gubernur sebagai bentuk perlawanan terbuka.

Martinus menegaskan bahwa hutan yang tersisa di wilayah Moi — dari Kalaili hingga perbatasan Tambrauw — adalah hutan terakhir yang menjadi sumber hidup masyarakat adat.

“Kalau hutan kami habis, kami tidak punya apa-apa lagi. Kami suku Moi bergantung pada hutan untuk makan, hidup, dan identitas kami. Ini bukan hanya soal ekonomi, ini soal kelangsungan hidup dan hak generasi kami ke depan,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia memperingatkan bahwa pengalaman masa lalu dengan perusahaan sawit di wilayah seperti Klamono dan Mosigim seharusnya menjadi pelajaran. Janji manis di awal tidak pernah terwujud; yang tersisa justru banjir, kerusakan hutan, dan penderitaan masyarakat.

Sebagai wakil rakyat sekaligus pemilik hak ulayat, Martinus menyerukan agar pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat mendengarkan langsung suara rakyat adat.

“Jangan anggap ini hanya persoalan lokal. Ini adalah persoalan hak, lingkungan, dan keadilan. Pemerintah pusat tidak boleh tinggal diam. Kami tidak akan tinggal diam,” pungkasnya.

Suara-suara penolakan ini semakin menguat dan diprediksi akan terus meluas apabila pemerintah tidak segera merespons tuntutan masyarakat adat. Dengan situasi yang semakin memanas, kelestarian Hutan Moi kini menjadi simbol perlawanan masyarakat Papua Barat Daya terhadap ekspansi industri yang tidak berlandaskan keadilan. (Red )

 

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *